14 Mei 2009

Mana Kutahu?

Mendung lagi mendung lagi…. Hujan deh! Padahal nih ya, Sesya ada janji mau ketemuan sama Doni. Bukan teman bukan juga pacar, so… Apa donk? What’everlah….
“Datang…. Enggak… Datang… Enggak… Aduh gimana nih? Hujan jahat banget sih! Dirimu nggak bisa diajak kerja sama. Pas lagi nggak ada acara aja nggak hujan, giliran mau hang out dirimu menampakkan wajahmu yang seolah menertawakanku, mengejekku. Sungguh kau iri padaku….” Sesya mondar-mondir nggak jelas di teras rumahnya.
Kenapa gelisah? Kenapa dibikin pusing? Nggak penting banget deh.... Ketemuan kan bisa entar-entar. Kayak nggak ada hari esok aja!
“Eh jangan ngeledek ya! Masalahnya, Doni tuh janji mau ngasih kejutan buat aku tau…! Kejutan apa ya??? Jadi penasaran....”
Ih, ngarep banget sih lo!
“Ye, zirik!!!”
Sesya mengetuk-ngetukkan jari di keningnya. Bergaya sok pemikir. Mulutnya komat kamit sendiri. Entah apa yang diucapkannya, mantra buat ngusir hujan kali…. Konsentrasinya buyar saat sesuatu menggelitik di dalam saku celananya. What’s that?
“Ahaaa! Panjang umur deh….”
“Alow Doni? Aduh gimana nih Don? Ujannya deras banget! Mendung petirnya keras lagi! Aku nggak berani keluar! Mami ngomel mulu dari tadi! Sesya mau ke mana?! Ujan-ujan begini nggak boleh keluar! Masuk! Jangan dingin-dinginan di luar! Aduh aku jadi takut kalo mami lagi marah gitu menyeramkan! Lebih seram daripada nonton film horror! Owh seram!!!”
“Udah? Nggak nambah lagi?”
“Nambah apaan Don?” Sesya dengan nada tak bersalahnya.
“Nambah nasi pecel!!! Enggak nding! Eh mbak yu Sesya Bilbina Serasesa, penyakitmu belum sembuh juga ya? Kan udah kusaranin cepat-cepat periksa ke dokter.”
“Penyakit apaan sih Don? Nggak usah panjang lebar deh, kalo ngomong tuh to the point aja!”
“Astaga Sya…, yang kukhawatirkan terjadi juga. Penyakitmu tambah parah, mungkin sudah stadium akhir.”
“Doni! Apa-apaan sih?”
“Sesya…, yang aku maksud tuh penyakit nerocosmu! Kalo ngomong tuh pake titik koma, pernah belajar bahasa Indonesia nggak sih?!”
“Hahahaha…. Sory sory Don. Trus gimana nih?”
“Aku jemput sekarang ya. Pasti mamimu mengijinkan, nggak bakalan enggak. Mamimu klepek-klepek kalo lawan aku.”
“PD banget sih! Oke deh Don, aku tunggu sekarang.”
“Bye bye miss kwek-kwek….”
“Kwek-kwek?”
“Hahahahaha…. Abisnya kamu cerewet sih!” Klek! Doni menutup flip HPnya. Dia masih senyum-senyum sendiri. Sesya Sesya....
***




Tiga puluh menit kemudian….
Suara mobil Doni bisa ditebak dari radius sepuluh kilometer, enggak nding…. Benarnya, sepuluh kilometer dikuadratkan trus diakar abis itu dibagi sepuluh lalu dikurangi delapan ratus meter.... Berapa tuh? Hitung donk! Males ngitung ya? Bukan otak matematika sih. Aku Bantu deh, jawabannya dua ratus meter. Yap, nilai seratus buat aku…. Buat kamu nol deh.
Meskipun sudah butut tapi antik lho. Mobil penuh kenangan…. Ada manis, ada asem, ada juga pahit. Macem-macem deh, ada rasa mangga, rasa jeruk, rasa melon, rasa anggur…. Emank permen apa! Beli tiga dapat sepuluh…, tapi harus tambah seribu. Ayo ayo, sayang anak sayang anak…. Udah-udah ah, bercanda mulu!
Beberapa menit kemudian mereka sampai di sebuah negeri kayangan… Hehe, enggak kok. Maksudnya di suatu tempat yang keren abis. Hujannya sudah mulai reda, rintik-rintik doank.
“Nah udah sampe nih Sya. Gimana suka nggak tempatnya?”
“Wah keren abis Don. Suer! Aku baru tahu di sini ada tempat sekeren ini. Kenapa nggak ngajak dari dulu-dulu aja?” Sesya masih terpana di tempatnya. Sungai yang mengalir dengan airnya yang jernih, jembatan yang melintang membelah sungai itu dan kanan kiri yang dikelilingi pepohonan.
“Sungguh mengagumkan…. Indah sekali….”
“Yes kamu suka! Aku takut kalo kamu nggak suka dengan kejutan yang aku berikan ini.”
“Oh jadi ini kejutan yang kamu maksud itu Don?”
“Bukan hanya ini saja Sya. Masih ada satu lagi….”
“Apa?”
“Aku boleh jujur nggak Sya?”
“Pertanyaanmu aneh Don. Siapa saja jelas boleh jujur lah….”
“Tapi aku takut Sya.”
“Kenapa harus takut? Kamu kan cowok, tunjukin donk kalo kamu tuh gentle. Masak mau ngomong aja nggak berani.”
Bukan itu maksudku Sya, aku takut kalo…. Ah, tapi kamu benar. Aku cowok, kenapa aku harus takut?! Baiklah Sya, akan ku ungkapkan semuanya….
“Sya…. “ Doni menatap Sesya lekat-lekat. Tatapannya penuh arti. Tapi Sesya masih belum bisa mengartikan tatapan itu.
“Hmm?” Kenapa jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia hampir tak bisa bernapas, sesak sekali rasanya.
“Aku mencintaimu….”
Deg!!! Sesya tersentak. Apa yang dia dengar barusan? Aku mencintaimu?
“Bercandamu nggak lucu Don. Malah aneh kedengarannya….” Sesya tertawa kecil.
“Sesya…. Aku nggak bercanda. Aku serius Sya….”
“Serius???”
“Iya Sya. Sebenarnya sudah dari dulu aku suka sama kamu. Sejak masuk kuliah. Tapi aku baru berani ngungkapinnya sekarang. Gimana Sya? Mau gak jadi pacarku?”
Sesya diam. Sesuatu yang dia takutkan dari dulu akhirnya kini terjadi juga. Dia tidak bisa berpikir apa-apa.
“Kenapa diam Sya? Ayo Sya, jawab….” Doni terus berharap Sesya akan bilang iya Don, aku mau jadi pacarmu. Tapi kalimat itu seakan tak mau keluar dari mulut Sesya. Sepertinya Doni tak punya harapan lagi.
“Nggak bisa ya Sya? Oke, aku ngerti. Aku janji Sya nggak akan bilang itu lagi ke kamu. Maafin aku ya Sya…. ”
“Bukan gitu maksudku Don….” Akhirya Sesya mau membuka mulut juga. Kalimat Doni barusan memaksa Sesya untuk berkata.
“Trus?” Doni semakin nggak ngerti.
“Don anterin aku pulang ya….”
”Kamu kenapa? Sakit?” Doni merasa ada sesuatu. Dia melihat wajah Sesya tiba-tiba pucat.
“Enggak Don, pokoknya aku pengen pulang sekarang.”
“Oke.”
Sesya masih tetap diam dalam perjalanan pulang dan itu semakin membuat Doni bingung. Apa yang terjadi dengan Sesya? Kenapa dia jadi seperti ini?
Sampai di depan rumah, Sesya langsung turun dari mobil tanpa bilang apapun ke Doni. Doni mengerti Sesya sedang tidak mau diganggu. Dia memutuskan untuk pulang.
***
“Mami….” Sesya menangis di pelukan maminya.
“Ada apa Sya? Kenapa kamu nangis?” Maminya terlihat panik.
“Yang aku khawatirkan terjadi juga mam….”
“Apa Sya? Jangan buat mami bingung donk nak.”
“Doni mam, Doni….”
“Iya, kenapa Doni? Apa dia sudah tahu semuanya?”
“Bukan, bukan itu….”
“Lalu apa Sya?”
“Dia…. Dia bilang kalo dia mencintaiku mam.”
“Trus kamu bilang apa Sya?”
“Aku nggak bilang apa-apa. Aku belum siap mam ngasih tahu ini ke Doni.”
“Tapi cepat atau lambat kita harus memberi tahu semuanya pada Doni. Sudah Sya, jangan nangis lagi. Percaya sama mami ini semua pasti ada jalan keluarnya.”
“Rencana mami apa?”
“Besok mami bilang ke Doni tentang masalah itu.”
***
Doni, Sesya dan maminya sudah berkumpul di ruang tamu. Tapi ini bukan untuk konferensi meja bundar karena yang ada bukan meja bundar tapi meja kotak 
“Doni, tante mau ngomong sesuatu. Tante harap kamu bisa menerima semua ini.”
“Masalah yang kemarin ya tan?” Doni mencoba menebak, pasti ini soal penembakan itu.
“Ada kaitannya juga dengan masalah itu.”
Doni melirik kearah Sesya yang dari tadi masih tetap diam. Sesya terus menunduk.
“Begini Don, sebenarnya kalian, maksud tante kamu dan Sesya adalah saudara sedarah….”
Deg!!! Doni hampir tidak bisa bernapas. Ini semua pasti mimpi! Tapi sayangnya ini kenyataan. Kenyataan pahit yang harus diterima Doni. Kenapa harus Sesya? Kenapa harus saudara sedarah?
“Tante harus bilang ini ke kamu karena ini amanat dari papimu sebelum beliau meninggal.”
Doni semakin tidak mengerti. Tante harus bilang ini ke kamu karena ini amanat dari papimu sebelum beliau meninggal.
“Apa maksudnya tante? Aku nggak ngerti.”
“Sebenarnya kamu dan Sesya mempunyai ayah yang sama. Dulu sebelum ayahmu menikah dengan tante, ternyata beliau sudah punya istri. Dan istrinya itu ibumu. Ayahmu baru bilang ke tante ketika beliau sakit parah dan beliau hanya bilang itu. Sebelum akhirnya beliau meninggal….”
Jadi…. Ternyata ini alasannya kenapa papa meninggalkan mama sejak aku bayi. Ya Tuhan, apa-apaan ini??? Doni menyesali kenyataan ini, kenyataan bahwa papanya telah mengkhianati mamanya, kenyataan bahwa seseorang yang paling dicintainya tak lain adalah adiknya sendiri. Sungguh menyakitkan. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menyalahkan papanya? Jelas nggak mungkin, karena papanya telah pergi….
***
“Mam, kenapa Doni sekarang nggak pernah muncul? Aku khawatir dengannya mam….”
“Mami juga nggak tahu Sya. Mungkin dia masih syock. Tapi percaya sama mami, dia pasti baik-baik saja”
“Tapi aku nggak bisa tenang mam. Sesya mau kerumahnya, boleh ya mam?”
“Ya udah Sya, boleh kok.”
***
Kenapa rumah Doni terlihat sepi? Lho, pagarnya juga dikunci. Ke mana dia? Sesya melihat di jalan itu ada tetangganya Doni.
“Permisi mbak, mau tanya….”
“Iya, ada apa ya?”
“Mbak tahu nggak pemilik rumah ini ke mana? Kok kayaknya nggak ada ya?”
“O, mas Doni ya mbak?”
“Iya betul, Doni.”
“Mas Doni kan udah pindah ke luar negeri sejak seminggu yang lalu. Itu lho mbak, di tempat ibunya.”
Ke luar negeri???Astaga….
***
Doni benar-benar telah pergi. Mungkin dia tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Don, maafin aku ya…. Maafin papaku, maafin mamiku juga.
Hari ini Sesya ingin mengirim email buat Doni, mungkin saja Doni masih sering membuka emailnya. Sesya terkejut saat membuka inboxnya, Doni mengirim email duluan kepadanya 3 hari yang lalu.
From : Donny
To : Bilbina
Subject : Mana kutahu?
Hai miss kwek-kwek…. Bingung ya nyariin aku? Hehe, maaf ya! Aku sekarang di London, kangen sama mama. Maaf juga karna aku nggak sempet bilang sepatah katapun setelah kejadian itu. Aku sekarang sudah tahu semuanya dan aku sudah cerita soal ini ke mama. Awalnya sih mama syock tapi lama-lama bisa menerimanya. Kalau saja aku tahu dari dulu kalo kita kakak adik pasti aku nggak akan bilang seperti saat di sungai itu. Bisa ngebayangin nggak, kalo seseorang yang sangat dicintainya ternyata adiknya sendiri. Hehehe, aneh ya? Mana mungkin…. Aku pengen ngilangin perasaanku yang aneh itu Sya. Jalan satu-satunya ya kabur darimu  Tapi tenang saja, aku akan kembali setelah aku bisa merubah perasaanku ini, layaknya perasaan kakak ke adiknya. Kamu di sana baik-baik ya! Oya dapat salam dari mamaku buat kamu dan mamimu, salam damai katanya, hehehe lagi…
Aku udah kangen dengan penyakit nerocosmu, wkkkk….. Miss’u adekku….
From : Bilbina
To : Donny
Subject : RE: Mana kutahu?
Kak Doni curang…. Seharusnya ngajak aku, aku kan pengen ke London…!!!


0 komentar: