14 Mei 2009

Seberkas kisah lalu

Saat aku terjatuh, aku mencoba bangkit. Perlahan aku memulai berjalan lagi meski dengan kakiku yang masih sakit, perih untuk ku pijakkan di tanah. Namun aku harus terus berjuang! Jalan masih panjang dan itu harus ku tempuh.
Berhasil!!! Aku bisa berdiri, aku bisa berjalan, bahkan aku sanggup berlari…. Meninggalkan lubang suram itu, lubang yang membawaku dalam keterpurukan, kesakitan. Jauh…. Hingga lubang itu tak terlihat lagi. Ku terus berlari, hingga akhirnya kutemukan lubang lagi di sana.
Mencoba dengan sekuat tenaga menghindari lubang itu, namun…. Gagal!!! Aku terperosok lagi ke dalamnya. Sakit…. Lebih perih dari lukaku pertama. Bahkan aku tak kuat berdiri lagi. Bergerakpun aku tak sanggup.


Aku terlalu sombong! Sekarang aku harus bagaimana? Ku coba raih apapun yang ada di sekitarku, tapi apa?? Udara? Haruskah ku raih udara itu? Mana bisa? Dasar tolol!! “Tolong…. Aku terjebak! Aku tidak bisa berdiri…. Kakiku sakit…. Tolong….”
Tak seorangpun mendengar jeritanku. Padahal sudah kukerahkan semua tenagaku untuk berteriak, sampai serak suara ini. Dan hilang…. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa menjerit dalam hati. Percuma! Sampai matipun tak kan ada yang mendengarnya. Lalu aku harus bagaimana??

Jika memang benar takdir telah menggariskan bahwa aku harus menempuh jalan hidup yang berduri dengan belenggu-belenggu di kedua kakiku, mungkinkah aku bersenang hati jika takdirmupun berarti takdirku? Aku merasa tak mampu berkata karena lidahku telah kaku oleh rasa sakit dan tak sanggup lagi berbicara. Bibirku telah terkunci oleh penderitaan hingga tak kuasa aku menggerakkannya. Apa yang dapat kukatakan lagi padamu hanyalah aku khawatir kalau kamu akan terpuruk dalam jebakan yang sama seperti telah menjebak diriku….
(Kahlil Gibran : Atas Nama Cinta)

Saat kubuka mataku…. Di sekelilingku ku lihat lampu-lampu kecil berterbangan. Oh bukan! Itu bukan lampu…. Itu kunang-kunang. Indah…. Indah sekali…. Di mana aku berada? Kenapa aku berada di tempat yang indah seperti ini? Sebelum ini aku di mana? Aku kenapa? Baru kutemukan tempat seindanh ini. Danau…. Aku dipinggir danau. Kenapa aku bisa di sini? Siapa yang membawaku ke sini?
Salah satu dari kunang-kunang itu mendekatkan dirinya di telingaku, membisikkan sesuatu, “Aku tadi melihatmu tak berdaya di lubang sana. Dan aku membawamu ke sini bersama teman-teman. Kau manusia bodoh!” Kusipitkan mataku mencoba menatap makhluk kecil itu, “Apa katamu? Aku bodoh?!” Kunang-kunang itu tertawa, lalu, “Iya, kamu bodoh!! Lihat…. Tempat ini sepi. Ini bukan tempatmu. Tempat ini tidak layak untukmu…. Kau memang benar-benar bodoh! Pantas saja kau selalu terjatuh. Kau tak mungkin memasuki ruang yang pintunya tertutup untukmu.” Kunang-kunang itu sedikit menjauh dariku. “Aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti kata hatiku…. Langkahku terarah begitu saja ke tempat ini.” kataku. “Kenapa kau ikuti kata langkahmu? Kenapa kau tidak melihat kenyataan?” Aku bingung, “Kenyataan apa?” Kunang-kunang itu tertawa lagi, “Ya kenyataan kalau tempatmu bukan di sini. Kembalilah ke tempat asalmu! Di sana kau akan lebih baik. Kau akan menemukan kedamaian…. Kau akan menemukan kasih sayang dari hati yang tulus menyayangimu. Tapi suatu saat nanti jika Allah menggariskan takdir bahwa tempat ini adalah tempat untukmu, kau pasti kembali lagi. Percayalah….”
***
Ya, aku percaya…. Jika Allah menggariskan bahwa tempat itu nantinya adalah untukku pasti aku akan kembali ke tempat itu.
Dia yang membuatku seperti ini. Membuatku takut jatuh cinta. Membuatku benci pada cinta. Membuatku menutup mata untuk cinta. Membuatku menutup telinga untuk mendengar kata cinta. Membuatku…. Membuatku ingin mlenyapkan segalanya tentang cinta.
Pernah aku protes pada Allah, “Ya Allah kenapa Kau pertemukan aku dengan dia? Dan kenapa Kau biarkan rasa ini bergelanyut ke dalam samudera hatinya, jauh…. Hingga tak dapat melepaskan darinya.” Jika aku protes pada Allah, berarti aku menentang jalan-Nya. Tidak! Aku harus terima semua ini. Ini takdirku, jika memang Allah menggariskannya untukku. Sekarang yang harus aku lakukan adalah berusaha melepaskan dari belenggu-belenggu itu. Meskipun sulit aku harus terus berjuang. Demi dirinya, bukan demi aku.
Percuma aku hidup dalam mimpi. “Wahai aku, bangunlah…. Sadarlah dari mimpimu! Hapus semua mimpimu itu!” Iya, aku segera bangun. Sedikit lagi…. Sedikit lagi aku pasti bangun. Biarkan aku menikmati mimpiku di saat-saat terakhir. Setelah itu aku janji, aku tidak akan kembali dalam mimpi itu….
Aku tidak ingin mencintainya, tapi aku juga tidak ingin membencinya….. Aku ingin selalu melihatnya, tapi aku tidak ingin bersamanya…. Aku ingin mendengar suaranya, tapi aku tidak ingin ada di dekatnya….


0 komentar: